Seandainya AMIN Kalah (Statusquo or Demokrasi Ideal)

Oleh : H. Navarin Karim

Tahun 2024 adalah tahun penantian, apakah system politik Indonesia masih statusquo atau ada perubahan? Tidak terlalu lama lagi kita dapat membuktikannya, karena 14 Februari 2014 Pilpres akan segera digelar.

Ketika debat pilpres pertama muncul pertanyaan Anies Baswedan yang mempertanyakan kepada Prabowo Subianto, persoalan Demokrasi Indonesia saat ini.

Namun dijawab secara diplomatis bahwa seolah system politik yang dianut masih demokrasi. Kalaupun secara procedural dan substantive masih demokrasi, terkesan sumir adanya.

Politik yang ingin penulis bahas saat ini berkaitan dengan teori Distribusi dan alokasi Harold D. Laswell yang dikaitkan dengan kekuasaan, bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Politic is who gets what, when and how.

Siapa Yang Mendapatkan

Mendapatkan dengan pragmatis atau idealis tidak dipersoalkan betul, bukankah idiologi sudah mati dalam ideologi politik? Justifikasi politikus yang penting cair. Asal cairnya tidak sampai meleleh kemana-mana.

Lihat saja politikus yang sangat piawai dan sudah tidak diragukan kalibernya, malah tunduk dan mendukung politikus baru (baca : politikus belimbing sayur).

Easy going saja mereka menghadapi kritikan masyarakat. Tak peduli apa kata dunia, biarlah tetap menggongong, kafilah tetap berlalu.

Bahkan masih tetap senyum sumringah jika disorot kamera. Betul-betul mempraktekkan ora edan, ora kedumen.

Benar juga anggapan dan pendapat bahwa politikus masa orde lama dan orde baru lebih keukeh dalam berprinsip.

Mereka sangat taat dengan idiologi partai yang sudah dipilih, idiologi dianggap sebagai agamanya politik yang harus diperlakukan secara sungguh-sungguh, bukankah turunan idiologi itu adalah prinsip?

Apa Yang Didapatkan

Jelas berupa kekuasaan berupa jabatan/kedudukan, kesempatan berada di ring satu, minimal ring 2, peluang memenangkan tender pemerintah, peluang mempengaruhi orang dalam. Sebut saja nama Bento 3 kali (Istilah Iwan Fals), etc.

Kapan Mendapatkan?

Jeli menunggu dan mencari kapan waktu yang tepat dalam menjalankan aksinya. Saat terjadi pecah kongsi, karena ketersinggungan, selanjutnya menentukan keberpihakan akibat dua gajah yang bertarung.

Namun jangan sampai terjadi peribahasa apabila ada orang-orang berkedudukan berkelahi satu sama lain, maka yang menjadi korban adalah orang kecil.

Bisa dibayangkan dalam situasi perang dimana yang berseteru adalah orang-orang tinggi. Kapan bisa juga dimaknai, moment mendapat jabatan/kedududukan yaitu setelah kemenangan atau pada saat reshuffle cabinet.

Bagaimana Bisa Mendapatkan?

Usahakan menguasai kantong-kantong pendukung dan atau melakukan ofensif.
Saling melakukan negative or black campaign pun dilakukan. Mematuhi aturan atau tidak nantilah dulu.

Bukankah ada stigma lembaga yang kompeten seolah hanya umbul-umbul demokrasi.

Statusquo

Ada semacam kecurigaan konflik yang tercipta dari gajah-gajah politik hanya semacam rekayasa dalam menggoalkan politik pasang dua kaki. Kecurigaan berdasarkan indikasi.

Pertama : seandainya ada penghianat politik, kenapa hingga tidak dipecat dari keanggotaan partai? Adapula anggota cabinet yang maju sebagai kandidat cawapres, tetapi tidak diganti sebagai anggota kabinetnya.

Jika salah satu pihak yang kandidat yang menang, pihak yang “dianggap” berseteru tidak menunjukkan perlakuan yang ekstrim, sehingga masih ada toleransi ke depannya. Ibaratnya tidak terlalu prinsiplah kesalahannya. Hanya soal etika.

Sebenarnya etika diatas segala-galanya, termasuk diatas perundang-undangan. Itulah Itulah daya Tarik kekuasaan. Sampai segitunya ( istilah bahasa gaul).

Dengan demikian perubahan juga tidak akan terjadi, karena terlalu mengedepankan toleransi, dalam arti meniadakan oposisi.

Kesimpulan

Kejadian demokrasi 2024 sangat ditentukan olah pemilih dengan catatan masyarakat pemilih merata kecerdasannya dan kemampuan ekonominya sudah establish .

Inilah constrain yang dihadapi dalam kondisi pemilih floating mass. Seandainya Anies Baswedan yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar menang, apakah menjamin demokrasi akan tegak lurus.

Tidak ada yang bisa menjamin secara pasti, seperti dalam salah lagu Ebiet G. Ade dikatakan hanya Tuhan yang tahu pasti, apa gerangan yang akan terjadi nanti.

Seperti harapan masyarakat pertama kali Jokowi menjadi Presiden, berharap demokrasi khususnya penegakan hukum benar-benar tegak lurus ditegakkan.

Nyatanya menurut istilah Anies Baswedan : hukum dengan peran Ordal yang lebih menentukan. Prabowo baru saja ditinggalkan Cak Imin dan Anies Baswedan pernah didukung Prabowo ketika kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta menjadi indikasi kecenderungan kuat statusquo terhadap perlakuan system demokrasi Indonesia akan masih terjadi, kecuali memang benar-benar konsisten dengan visi dan misi yang sudah diucapkan.

Kebingungan ini tidak berarti penulis merekomendasikan golput, karena fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah pernah kemukakan bahwa golput adalah haram hukumnya, tetaplah memilih yang lebih baik dari yang baik.

Kita tunggu saja nasib demokrasi kita, dengan harapan akan lebih baik. Wait and see.

*) Penulis adalah dosen senior Prodi Ilmu Politik dan Pemerintahan Unja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *