Oleh: Nasuhaidi, S.Pd., S.Sos., M.Si
Penulis ingin memulai tulisan yang sederhana ini dengan mengurai dua terminologi yang diangkat menjadi judul tulisan ini, yakni simbiosis dan mutualisme. Secara harfiah, simbiosis (kimia) berati keadaan yang menguntungkan pada pembentuk dua jenis zat; simbiosis (biologi) berarti keadaan hidup bersama secara erat antara dua organisme yang berbeda. Sedangkan simbiosis adalah segala jenis hubungan atau interaksi antara dua organisme berbeda yang hidup bersama secara erat. Istilah ini mengacu pada asosiasi yang menguntungkan dan merugikan dari berbagai organisme, yang tidak mereka peroleh saat hidup sendiri. Sedangkan, mutualisme berarti hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan antara dua organisme. Dengan demikian, Simbiosis mutualisme adalah bentuk interaksi antara dua organisme yang berbeda spesies dan sama-sama mendapatkan keuntungan dari hasil interaksi tersebut
Dalam konteksi ini, penulis mengajak pembaca untuk menggeser dua peristilahan di atas yang hakikinya digunakan untuk subjek kimia dan biologi ke dalam konteks politik. Simbiosis mutualisme yang dimaksud di sini adalah refleksi saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara partai politik di satu sisi dan elitis lokal di sisi lain. Partai politik sebagai salah satu pemangku kepentingan politik di ranah lokal. Partai berpotensi untuk menciptakan suasana Pilkada yang kondusif, kompetitif dan mampu memberi ruang bagi masyarakat luas untuk bergerak bersama partai untuk mendapat ruang sebagai bakal calon kepala daerah. Bakal calon pun tidak mau ketinggalan untuk mengelola moment politik tersebut.
Bagi parpol, proses awal ini diisi dengan agenda rekrutmen politik. Begitu banyak kemunculan figur-figur atau kelompok elit sebagai pencari kuasa yang memerlukan parpol. Elitis yang show-up menjelang jadwal pendaftaran Paslon berasal dari kalangan internal partai dan figur independen yang dari luar partai yang meminati politik lokal. Agenda ini merupakan suatu tantangan yang harus disikapi dengan bijak sesuai kewenangan yang diatur dalam regulasi. Parpol dituntut agar mampu membangun komitmen politik dengan para bakal calon kepala daerah secara transparan dalam upaya mencari putra terbaik untuk menjadi pempimpin negeri.
Acuan kerja rekrutmen politik bagi partai politik jelas mengacu pada ketentuan yang ada UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang tersebut menggarisbawahi bahwa salah satu fungsi dan peran yang harus dijalankan oleh partai politik secara nasional adalah sarana rekrutmen politik, disamping sebagai sarana pendidikan politik, komunikasi politik dan sosialisasi politik serta resolusi konflik masyarakat.
Dalam konteks ini, fungsi parpol berkaitan dengan prosesi kepemimpinan dan kaderisasi. Di mana Parpol bisa merekrut figur dari masyarakat (publik) untuk menjadi bagian dari sistem dalam proses pencalonan kepala daerah. Faktanya, rata-rata partai menjalankan fungsi rekrutmen politik secara terbuka dengan membuka ruang bagi publik. Melalui proses ini, memungkinkan Parpol untuk memilih dan mendapatkan figur politik yang mumpuni sebagai calon pemimpin. Proses ini dijalankan untuk memenangkan kompetisi politik di ranah lokal dan tentunya berpengaruh positif terhadap langkah-langkah kerja politik guna membesarkan partai ketika calon yang diusul kelak menjadi pasangan champion.
Bagi pencari kuasa di ranah lokal, yakni bakal calon kepala daerah membutuhkan partai untuk pencalonan kepala daerah yang dijadwalkan pada tanggal 27 sampai 29 Agustus 2024 mendatang. Penjadwalan tersebut mengacu pada Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024.
Pencari kuasa ini merupakan elit lokal yang show up dari beragam latar belakang. Mereka umumnya muncul dari politisi, pengusaha, birokrat, teknokrat, tokoh masyarakat, termasuk juga para tokoh agama. Mereka harus menjalankan proses adminstrasi politik dengan cara menarik simpati partai agar dapat diusul untuk maju pada Pilkada secara berpasangan. Hal ini sesuai ketentuan pasal 40, ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, menyebutkan bahwa ”Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.” Dengan demikian, terdapat dua opsi pengusulan pasangan calon yakni, menggunakan hitungan persentase kursi dan menghitung perolehan suara sah, tetapi suara sah partai yang duduk di parlemen.
Kontrol Sosial
Persaingan mendapatkan dukungan partai bagi Balon kepala daerah dalam konteks demokrasi adalah kompetisi awal. Mereka harus berjuang agar dapat memnuhi kriteria yang diinginkan oleh partai politik sesuai dengan platform partai tertentu. Satu partai biasanya diminati oleh beberapa Balon yang merasa pantas dan layak untuk diusulkan sebagai calon kepala daerah. Artinya, terjadi kompetisi antara pendaftar yang lebih dari satu orang sehingga berujung kompetisi, dan demokrasi itu sendiri memang suatu kompetisi.
Dalam teori kuasa disebutkan bahwa kekuasaan sangat terbatas, sementara, elit yang menginginkan power itu relatif banyak. Akibatnya, maka terjadi persaingan yang ketat dengan mengerahkan berbagai siasat untuk menang. Disinilah perlu kontrol sosial dari masyarat sipil sebagai penetral antara pencari kuasa dengan partai penyalur aspirasi rakyat. Peran akademisi, media atau pers, LSM dan tokoh bahkan seluruh masyarakat sangat diperlukan agar persaingan perebutan dukungan partai berjalan sehat, transparan dan demokratis
Apa yang menjadi harapan kita dari berjalannya poses rekrutmen elit menuju kursi pencalonan berjalan transparan dan dengan pelibatan pihak ekternal. Proses wawancara, fit and proper test oleh Parpol mestinya dilaksanakan dengan melibatkan para profesional di bidangnya, Dengan demikian, kandidat yang terpilih merupakan putra terbaik pilihan penguji dan figur yang patut dan layak yang akan diusul oleh partai. Output-nya, menjadikan opsi yang ditawarkan partai untuk dipilih masyarakat pun merupakan figur mumpuni yang mampu bermimpi untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Figur mumpuni adalah pemimpin harapan bagi masyarakat lokal.
Merujuk pada pola kearifan lokal, dalam tatanan adat Melayu Jambi, bahwa pemimpin itu adalah harapan bagi masyarakat. Ibarat petitih adat Melayu Jambi: pemimpin itu, kalau berjalan dulu selangkah, berkata dulu sepatah. Ibarat pesawat, kepala daerah adalah pilot, kalau di laut, pemimpin menjadi nahkoda. Jelas sekali, ternyata posisi kepala daerah sangat strategis, menentukan, dan akan mampu mewarnai kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat dipimpinya.
Dalam filosofi Melayu Jambi disebutkn pula bahwa pemimpin itu ibarat sebatang pohon. Pemimpin itu seumpama pohon gedang di tengah padang. Daunnya rimbun, batangnya besar dan akarnya kuat. Daun tempat berteduh, batang tempat bersandar dan akar yang kuat tempat duduk atau bersila. Pemimpin itu mengayomi, melindungi dan tempat bergantung bagi masyarakat Melayu. Semoga kelak kita ditawarkan oleh partai para bakal calon kepala daerah yang sekaligus sebagai pemimpin bagi masyarakat. Penulis adalah dosen politik pada Universitas Jambi. (*)