Menanti Inovasi Kebijakan Pasca Pilkada 2018

Perhelatan pemilihan kepala daerah tahun 2018 telah usai, ditandai dengan telah dilantiknya para calon terpilih untuk menjadi pemimpin daerahnya masing-masing. Khusus Provinsi Jambi, gelaran Pilkada 2018 di tiga wilayah dimenangi oleh para petahana dengan wakil yang berbeda, baik di Kota Jambi, Kabupaten Merangin, maupun di Kabupaten Kerinci. Di Kota Jambi, Fasha kembali memimpin ibukota Provinsi Jambi ini bersama wakilnya, Maulana. Kabupaten Merangin juga masih dipimpin oleh Al Haris untuk lima tahun ke depan bersama wakilnya, Masyhuri. Tidak jauh berbeda juga yang terjadi di Kabupaten Kerinci, dimana Adirozal kembali dipercaya masyarakat melanjutkan program-program pembangunan di daerah andalan pariwisata Provinsi Jambi ini bersama wakilnya, Ami Taher. Pendek kata, pesta telah usai dan masyarakat kembali ke kehidupannya seperti biasa.

Terus, bagaimana selanjutnya? Apakah masyarakat cukup menikmati euforia demokrasi hanya sampai pelantikan calon terpilih. Tentu saja tidak demikian. Muara dari pilkada yang dengan sangat antusias diikuti oleh masyarakat adalah terciptanya perbaikan setiap aspek kehidupan yang selama ini terjadi. Antusiasme masyarakat ini misalnya tercermin pada 71,91 % penduduk Kota Jambi menggunakan hak pilihnya pada Pilwako 2018, di Pilkada Merangin sebesar 76,4 % dan di Pilkada Kerinci sebesar 72 %. Sebagaimana diketahui bahwa pilkada adalah hasil dari berubahnya sistem politik Indonesia dari sentralistik di masa Orde Baru menjadi desentralisasi pasca reformasi. Sistem sentralisasi yang mengakar kuat pra reformasi menyisakan banyak problem, di antaranya terabaikannya pembangunan di daerah. Karenanya, desentralisasi dalam format otonomi daerah yang salah satunya mewujud dalam pilkada menjadi jawaban akan kesenjangan pembangunan di masa lalu. Logikanya, pemimpin daerah yang lahir dari sistem pilkada adalah orang-orang yang paham akan kelebihan dan kekurangan wilayahnya. Setelah terpilih, sang pemimpin daerah kemudian diharapkan mampu mewujudnyatakan berbagai harapan masyarakat dalam mengatasi problem-problem yang selama ini ada.

Salah satu problem yang sampai hari ini masih menjadi pekerjaan rumah di Provinsi Jambi adalah masih tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS Provinsi Jambi per Maret 2018, jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan masih di kisaran angka 10,41 %, sedangkan di pedesaansejumlah 6,75 %. Artinya, para pemimpin yang lahir dari ‘rahim’ pilkada di Provinsi Jambi harus memiliki program-program yang diharapkan mampu mengatasi problem sosial klasik ini. Karena memang itulah tujuan utama dari diterapkannya pilkada di Indonesia dalam kerangka sistem desentralisasi. Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana cara mengatasinya?

Dalam kajian sosial politik, upaya mengatasi problem-problem sosial masyarakat yang dilakukan oleh seorang pemimpin dikenal sebagai kebijakan publik. Menurut Bridgman & Davis, kebijakan publik adalah keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Secara khusus, Gerry Stoker dalam bukunya The Politics of Local Government: Public Policy and Politicsmenyatakan bahwa pemerintah daerah yang sudah memiliki wewenang luas dalam pengelolaan daerah dalam sistem otonomi daerah diharapkan dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan publik berupa program-program pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan jawaban atas upaya mengatasi problem-problem sosial yang mengemuka dalam masyarakat.

Menciptakan sebuah kebijakan yang mampu mengatasi problem-problem sosial tentu tidak mudah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak semudah yang dibayangkan oleh banyak orang. Untuk mengatasi problem ini, para ilmuan sosial politik kemudian merumuskan beragam konsep yang dapat membantu para pemimpin untuk menciptakan kebijakan. Adalah seorang David Osborne yang mencari solusi terhadap minimnya pelayanan publik melalui bukunya Reinventing Government dan dilanjutkan dengan beberapa perbaikan oleh Duo Denhardt dalam bukunya The New Public Service: Serving Not Steering. Kedua konsep ini sama-sama bertumpu pada perlunya para pemimpin publik untuk mengadopsi pelayanan yang diberikan swasta kepada para pelanggannya. Perbedaan mendasar kedua konsep ini terletak pada pemosisian rakyat, Osborne menyebutnya sebagai custumer, sedangkan Denhardt mengistilahkannya sebagai citizen. Bagi keduanya, kunci kesuksesan perusahaan-perusahaan swasta terletak pada pelayanannya kepada para pelanggannya. Inovasi-inovasi produk yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan swasta merupakan upaya mereka mengatasi problem yang dialami oleh pelanggannya. Laptop, misalnya, merupakan inovasi untuk memudahkan orang bermobilisasi yang tentu akan kesulitan kalau masih dalam bentuk PC. Akan halnya juga dengan yang terjadi di ranah publik, pelayanan terhadap khalayak harus memerhatikan kebutuhan masyarakat. Konsep lainnya yang sejalan dengan ini adalah Deglobalisasi yang dicetuskan oleh Walden Bello. Dalam bukunya berjudul Deglobalization: Ideas For a New World Economy, Bello mengatakan bahwa salah satu cara mengatasi problem sosial adalah dengan cara maksimalisasi potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Bertumpu pada konsep ini, maka pemimpin dituntut untuk mandiri dengan cara mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki daerahnya.

Sebagai wujud upaya melayani rakyat, pemimpin yang terpilih dalam pilkada harus mampu menghadirkan program-program yang bertumpu pada kebutuhan masyarakat. Kemiskinan, misalnya, masih menjadi problem yang selalu melekat dalam masyarakat kita. Pemimpin daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) hendaknya memiliki program-program inovatif yang ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Berbagai sumberdaya yang dimiliki daerah (geografis dan demografis) cukup membantu para pemimpin untuk melahirkan program penanggulangan kemiskinan. Hal ini masih ditambah lagi dengan dukungan politis pemerintah pusat yang memang sejak awal sudah menggaransi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia dalam kerangka otonomi daerah.

Upaya menciptakan dan melakukan kebijakan yang inovatif tentu tidak hanya dilaksanakan oleh gubernur, bupati dan walikota sendiri. Usaha ini harus melibatkan sistem birokrasi yang juga inovatif. Kalau dalam sistem swasta pelaku pelayanan adalah karyawan/pegawai, maka di ranah publik pelakunya adalah para birokrat. Layaknya di ranah swasta, birokrasi merupakan ujung tombak pelayanan publik. Lihatlah para karyawan swasta dengan begitu antusiasnya melayani pelanggannya, hal yang sama mestinya juga dilakukan oleh pegawai pemerintah kepada rakyat. Dengan cara ini, maka harapan akan kesejahteraan yang dicita-citakan konstitusi bukan tidak mungkin dapat direalisasikan. Tentu saja, jika pemimpin daerah sudah memiliki formula mengatasi problem masyarakat dan para birokrat melayani rakyat dengan baik.

Semoga…….

Dr. H. Pahrudin HM, M.A.
Ketua Prodi Ilmu Politik Fisipol

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *