Caluk dan Kecut (Analogi caleg tidak bekualitas dan Tidak Punya Modal)

Tahun 2009 penulis pernah menulis artikel disalah satu media cetak di Jambi dengan judul  yang  gokil “Caleg dan Caluk”. Caleg dianalogikan sebagai calon legislative yang berkualitas, sementara caluk dianalogikan bagi calon legislative yang tidak punya kapasitas alias tidak berkualitas. Analogi caluk ini inspirasinya dari material makanan penyedap sambal. Caluk adalah istilah di Jambi. Terminologi nasionalnya adalah terasi. Istilah di Riau dan Kepulauan Riau dikenal dengan nama belacan.  Ia terbuat dari udang yang sudah agak bau tidak layak dimakan langsung. Udang tersebut kemudian diaduk dengan tepung kemudian dicetak dan dikemas sedemikian sehingga jadilah caluk. Baunya memang menyengat dan merangsang hidung, dan kalau kita makan sambal caluk dengan tangan, bau melekat ditangan walau sudah dibasuh dengan air, kecuali dicuci dengan sabun. Jika belum tahu dengan sambal caluk silakan cari rumah makan wong solo, sambalnya menggunakan campuran caluk.

Istilah kecut belakangan ini viral di media, dikemukakan oleh  Dr. KH. Ahmad Bisri selain dikenal sebagai ustadz, beliau juga budayawan yang pintar membuat puisi-puisi yang menyentuh kalbu. Baru-baru ini beliau berpendapat bahwa caleg yang akan menang pasti mereka yang punya banyak uang. Bagi yang tidak punya uang masih nekad maju sebagai caleg, maka harus pandai-pandai berorasi dengan mengatakan saya ini caleg yang tidak punya uang, biasa hidup sederhana. Jika jadi berhasil jadi  legislator saya akan berpihak kepada rakyat miskin (wong cilik) dan akan tetap hidup sederhana. Namun ketika meninggalkan massa kampanye (audience) tanpa memberi uang, sembako, atau material lainnya, maka yang dirasakan oleh audience : “kecut”.  Terminologi ini bermakna asam, dapat pula diartikan tidak dapat apa2. Orang yang kecut biasanya dihindari orang lain. Atau kalaupun terpaksa dekat, mereka tutup hidung, kalau sekarang bisalah pakai masker. Tutup hidup bukan makna sebenarnya, apalagi jika dikaitkan  dengan covied di Singapura kembali dahsyat menggejala.

Menjadi Caleg Yang Elegance

Agar caleg tidak disebut  caluk,  tentunya harus mengukur kapasitas pengetahuan yang dimiliki terutama mengedepankan jiwa kenegarawanan yaitu mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan golongan. Mengasah jiwa kenegarawanan yaitu kemampuan mendengar aspirasi rakyat dan kemampuan  memperjuangkannya menjadi program daerah dan atau program nasional.. Ini yang disebut dengan artikulasi  dan agregasi kepentingan.  Jika caleg yang tidak berkualitas ditakdirkan jadi legislator (anggota parlemen), khawatir akan jadi “timun bungkuk” dust tidak banyak bicara di Parlemen. Padahal jika kita telusuri makna parlemen, itu berasal dari kata parle yang berarti bicara (talk). Jangan pula marah jika jadi legislator, dikatakan tidak pernah bicara.

Bagaimana pula agar caleg tidak beraroma kecut ini. Seyogianya mereka poles dulu dengan kemampuan ekonomi, bukan hanya dipoles dengan parfum dan minyak wangi. Artinya persiapan amunisi benar-benar sudah mapan (establish). Jika conditio sine quanon ini sudah terpenuhi, maka tetap berikan daya tarik kepada masyarakat, tapi tidak lagi dalam bentuk sembako dan  uang. Namun disubstitusi dengan bantuan modal, bantuan pupuk  dan bibit (untuk petani), bantuan anak ayam, anak kambing, anak sapi untuk peternak dan penyuluhan untuk usaha mikro. Artinya berikan mereka kail, bukan umpannya. Ini diberikan bukan pada masa kampanye, tapi berikan minimal setahun jelang masa kampanye atau maksimal 3 tahun jelang pemilihan. Jadi ketika masa kampanye, si caleg tinggal mengecek perkembangan dari bantuan yang diberikan. Jika makin berkembang dan ketika didatangi, masyarakat yang diberi bantuan, akan menyambut kedatangan si caleg dengan mengatakan usahanya mulai berkembang dan pada hari H kami akan memilih si caleg tersebut. Ini pernah dipraktekkan rekan penulis. Beliau punya perencanaan ke depan dimana 5 tahun sebelum Pemilu ia sudah mulai belusukan ke masyarakat dengan melakukan penyuluhan,  membawa mataerial, bibit dan pupuk. Uang yang dikeluarkan tidak sekaligus, artinya seperti mencicil pembayaran angsuran  kredit. Jika tepat waktunya akumulasi uang yg dikeluarkan  ternyata sudah banyak, tapi tidak  terasa. Inilah yang namanya efisien dan efektif,,

Penutup

Muhasabah lah hai caleg sebelum kompetisi tahun 2024, masih ada waktu mengundurkan diri, sebelum jadi bulan-bulanan bully dari masyarakat. Apakah anda mau dibully oleh mereka  yang berprilaku pemilih rational  di dunia maya , seperti kandidat yang dibuat wajahnya makin tua, ketika ayam berkokok si kandidat keluar dari anus ayam. Adapula wajah dibuat melongok ketika akan  diajak debat, etc.  Astagfirullah al azim. Oleh sebab itu berikan kesempatan kepada  yang layak dan pantas untuk dipilih oleh rakyat.

Sekedar mengingatkan kepada pengurus-pengurus  partai, jangan lagi pola lama dipraktekkan mau cepat jadi partai massa yaitu  menerima (given) saja terhadap mereka yang mau jadi anggota partai, tetapi recruitmen, seleksi dan pengkaderan harus dipraktekkan secara lurus dan benarr untuk mendapatkan selected people yang akan dipromosikan menjadi caleg. Ingat juga mereka yang belum pernah menjadi anggota parlemen  jangan langsung dipromosikan jadi caleg tingkat provinsi, apalagi DPR-RI. Alon-alon waton kelakon, artinya lalui mekanisme sebagai caleg level kota/kabupaten, jika berhasil periode selanjutnya dan atau sudah dua periode melangkah ke DPRD provinsi dan seterusnya setelah makin mapan baru dipromosikan ke level DPR-RI. Pepatah adat Melayu : naik berjenjang dan turun betanggo. Insya Allah kita akan mememilih caleg-caleg terbaik dari yang baik dan terhindar dari aroma caluk dan kecut.  Hope dreams come true.

———————–

Penulis adalah dosen senior  Fisipol Unja dan  Ketua Penulis Opini Pelanta Jambi.